Kamis, 24 Oktober 2013

PENGALAMANKU DI MASA KONFLIK ACEH DULU



Pada saat itu, aku masih sangat kecil dimana aku hidup di daerah kontak senjata antara GAM dan TNI. Umurku kira-kira 5 tahun dan tentunya sejak itu aku belum duduk di bangku sekolah. Walaupun aku masih kecil, tapi aku masih ingat kejadian-kejadian yang sangat pedih pada masa konflik tersebut. Kala itu, Kehidupan keluargaku bisa dibilang kehidupan yang sangat sederhana dan bahagia. Aku memiliki orang tua yang sangat penyayang dan dua orang kakak laki-laki yang sangat sayang kepadaku. Setiap anak pasti ingin merasakan kebahagian. Tetapi pada masa itu kebahagiaan yang aku rasakan tidak sama dengan kebahagian yang dirasakan anak-anak zaman sekarang. Bahkan pada saat itu, aku sama sekali tidak merasakan yang namanya kebahagiaan sesungguhnya pada masa kanak-kanaku dulu. karena  Setiap hari aku harus dihantui dengan suara ledakan dan suara tembakan peluru dimana-dimana. Tidak jarang kami harus tiarap dan mengunci pintu agar terlindungi dan tidak ada peluru nyasar yang mengenai keluarga kami. Begitulah setiap hari yang ku alami ketika masih tinggal di kampung kelahiranku dulu yaitu Samalanga, Pidie jaya, Aceh. Sangat takut memang, tapi apa boleh buat karena begitulah nasib kita tinggal di negeri konflik. Ada suatu ketika itu, aku ingat ketika segerombolan tentara turun ke desa kami, mereka menyuruh setiap rumah untuk menaiki bendera merah putih yang merupakan lambang bendera Indonesia. Kebetulan rumahku tidak menaiki bendera karena ibu memang benar-benar lupa menaruh bendera tersebut dimana. lalu tiba-tiba dua orang tentara mendekati pintu rumah kami, dengan suara keras dan wajah yang sangat marah, mereka memarahi ibuku dengan spontan, ibu terdiam sambil menundukkan kepala dan aku hanya bisa menangis dan bersembunyi di belakang ibu. Aku takut, karena di dalam pikiranku mereka akan mengambil senjata yang tergantung di punggung mereka dan dengan spontan mereka akan menembak kami berdua yang kebetulan hanya kami berdua saat itu. Rupanya masalah rumahku tidak menaiki bendera tidak di perpanjang. mereka hanya mengingati ibu agar tidak terjadi seperti ini lagi. Ketika masa-masa konflik, Setiap hari para TNI selalu turun ke kampung untuk patroli. entah apa yang di patroli aku sama tidak tahu karena aku masih sangat kecil waktu itu, aku hanya tahu dan ingat teman-temanku untuk selalu bermain tanpa memikirkan apapun. tapi setiap kami sedang bermain, selalu terdengar tembakan-tembakan yang dahsyat. Tentunya kami  harus berhenti bermain dan pulang ke rumah dengan hati yang karuan dengan suara-suara tembakan yang karuan pula. Aku sering tidak tahan dengan keadaan seperti itu. Setiap hari kami harus mengurungkan diri dirumah dan mengunci pintu rapat-rapat guna agar tidak terjadi hal-hal buruk yang tak di inginkan. Bahkan ketika aku sudah masuk sekolah pun kami harus diliburkan setiap hari karena takut akan terjadi kontak senjata di sekolah. Tapi aku sebenarnya tidak peduli dengan keadaan seprti itu karena aku masih belum tahu apa-apa. karena  yang aku ingin hanyalah bermain bersama teman-teman. sering kali ibu memarahiku dan kerap aku menangis karena selalu merengek-merengek minta keluar untuk melanjutkan permainanku bersama teman-teman. Selang beberapa hari, tiba-tiba terdengar  berita yaitu jika pasar ulee gle yang merupakan kampung asal ibuku telah dibakar ludes oleh para TNI, kami sempat tidak percaya, lalu ibu menanyakan hal itu kepada kakek kami dan ternyata benar dan alhamdulillah keluarga kakek di sana tidak apa-apa. Beberapa hari setelah terdengarnya kebakaran pasar ule gle, lalu terdengar kabar jika tidak akan lama pasar Simpang Mamplam akan di bakar juga, pasar itu tidak terlalu jauh dengan tempat kami tinggal, lalu masyarakat kampungku berencena membuat sesuatu supaya para TNI tidak lolos ke kampung kami untuk dibakarnya juga. mereka berencana untuk meletak sesuatu di jalan masuk ke desa kami, akhirnya masyarakat kampungku mengangkat jambo jaga(pos kamling) dan meletaknya pas di jalan masuk ke kampungku. Berhari-hari kami tidak bisa keluar dari kampung karena jalannya telah di tutup. Seminggu berlalu akhirnya benar dugaan masyarakat kampungku yaitu tiba saatnya dimana para TNI membakar seluruh pasar Simpang Mamplam sampai habis hangus terbakar tanpa bersisa. Suara tembakan kala itu sangat dahsyat dan tidak terhitung jumlahnya berapa. Suara tembakan itu sangat dekat dan aku bersama keluargaku hanya bisa berdoa sambil terduduk diam di rumah yang seakan-akan tengah berada di ujung tanduk. Sekitar 15 menit suara tembakan itu hilang, kami menuju ke pintu belakang dan kami melihat banyak sekali gumpalan asap hitam yang terbang ke atas langit. Kami sangat takut dan hanya bisa memanjatkan doa kepada sang pencipta. kami bersyukur karena tentara-tentara itu tidak masuk ke desa kami. Tapi aku sangat sedih melihat Para-para pemilik toko-toko di pasar tersebut merasa sangat dirugikan karena bertahun-tahun mereka membangun toko itu dengan susah payah. Dan dari situlah pendapatan para orang tua untuk mrnafkahi anak-anaknya, tapi apa daya mereka harus merelakan tokonya hangus dibakar begitu saja. Lama-kelamaan toko-toko itu mulai di bangun kembali dan tiba-tiba ayah memutuskan untuk pindah dari kampung tersebut, karena ayah merasa jika kampung itu sudah mulai tidak aman. Akhirnya kami semua pindah ke kampung Ibu di Uleegle,Pidie Jaya,Aceh. kami tinggal di rumah sederhana yang dekat dengan laut serta dekat dengan rumah kakek. Aku pun masuk ke sekolah baru, dan bertemu dengan teman-teman baru juga. Aku senang walaupun kadang-kadang kami juga mendengar suara tembakan, tapi kampung ini lumayan aman daripada kampung kelahiranku. Ketika aku duduk di bangku kelas 3 SD. Aku kembali merasakan hal pahit kala itu. Rupanya konflik bersenjata belum juga berakhir. Kami mendengar jika GAM akan membakar seluruh sekolah-sekolah yang ada disekitar itu karena supaya para TNI tidak menginap di sekolah-sekolah. Aku berpikir, jika mereka membakarnya, nanti aku dan juga teman-temanku sekolah dimana. Pikiranku semakin tak karuan karena sekolah SMP dan MIN yang dekat dengan sekolah kami telah di bakar, tapi aku heran rupanya GAM tidak membakar sekolah kami dan bahkan sekolah tersebut masih berdiri kokoh sampai sekarang ini. Aku senang bisa bersekolah di gedung sekolah, tidak seperti teman-temanku yang lain yang harus bersekolah di tenda-tenda. Rupanya Kakekku adalah seorang ulama, aku sering bermain ke tempat kakek, dan sering kali para TNI bertamu di rumah kakek. Kata ayah, TNI menghormati para ulama makanya sering sekali ke tempat kakek untuk bertamu. Pernah suatu hari ayah bercerita padaku, ketika itu, ayah dan ibu sedang pergi ke suatu tempat dengan kereta, tiba-tiba ada sekitar lima orang TNI menyetopi perjalanan ayah dan ibu. Para TNI hendak menangkap ibu dan ayah dan juga kereta yang di bawa ayah. Lalu ibu bilang jika ibu adalah anak seorang ulama dan ayah juga bilang jika ayah adalah menantu seorang ulama juga. Dan akhirnya para TNI itu melepaskan ibu dan ayahku. Pernah juga suatu ketika. Segerombolan TNI turun ke kampungku, mereka memasuki suatu warung kopi yang kebetulan ada ayah yang sedang minum kopi juga. Para TNI sepertinya geram kepada orang-orang yang duduk di warkop itu, lalu mereka memberi pelajaran dengan cara menyuruh membuka baju semua orang yang ada disitu. Dan menyuruh mereka untuk tidur berbaris di jalan dan para TNI berjalan di atas badan orang tersebut termasuk ayaku seolah-olah mereka berjalan di atas jembatan. Aku dan ibu sangat sedih mendengar mereka memperlakukan masyarakat desa kami begitu. Begitulah yang dilakukan para tentara setiap kali turun ke kampung-kampung. Setelah itu selang beberapa hari lagi, para TNI turun ke kampungku lagi. Saat itu ada salah satu penduduk yang kebetulan juga tetangga kami, dia sangat ketakutan dan lalu berteriak sambil lari, tujuan dia begitu adalah ingin memberi tahu kepada masyarakat bahwa TNI datang, tapi sayangnya TNI melihat dia dan mengejar dia lalu di pukuli rame-rame sampai babak belur. Para TNI mengira dia adalah GAM karena dia lari ketakutan. Setelah berbulan-berbulan hidup dikampungku yang baru terasa sudah sedikit aman, karena TNI ataupun GAM tidak lagi turun ke desa kami, walaupun kala itu masih saja tetap terjadi kontak senjata dimana-dimana. Aku dan keluargaku mulai tidak takut lagi dan menikmati indahnya hidup. Perlahan-lahan kami mencoba melupakan masa-masa pahit itu, tetapi belum juga perih yang kami rasakan ketika konflik hilang, rupanya Allah berkehendak lain, tepatnya tujuh tahun yang lalu Aceh mengalami musibah yang sangat dahsyat yaitu gempa bumi disertai gelombang tsunami. Rumahku dan isinya rata di terjang air laut, aku merasa hidupku tidak ada gairah lagi, rasanya aku tidak ada lagi harapan hidup kala itu. Tapi aku sangat bersyukur, karena ketika masa konflik dan tsunami keluargaku semuanya selamat. Kata ibu, Allah meberikan cobaan kepada kita karena Allah marah mengapa manusia suka sekali berperang dan bertumpah darah di atas bumi tercinta ini. Padahal, Allah menyuruh kita untuk menjaga dan melestarikan bumi ini. Setelah dua tahun setelah tsunami dan Aceh pun sudah damai, Ayah memutuskan untuk mengajak kami sekeluarga pindah ke kota Banda Aceh, karena ayah bilang, hidup kita itu harus tetap berjalan walaupun ada musibah dan cobaan.

**Nyakti Mardalena**


Tulisanku ketika kelas dua SMA ckckckck :p :D ;) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar