Pada saat itu, aku masih sangat kecil dimana aku hidup di
daerah kontak senjata antara GAM dan TNI. Umurku kira-kira 5 tahun dan tentunya
sejak itu aku belum duduk di bangku sekolah. Walaupun aku masih kecil, tapi aku
masih ingat kejadian-kejadian yang sangat pedih pada masa konflik tersebut.
Kala itu, Kehidupan keluargaku bisa dibilang kehidupan yang sangat sederhana
dan bahagia. Aku memiliki orang tua yang sangat penyayang dan dua orang kakak
laki-laki yang sangat sayang kepadaku. Setiap anak pasti ingin merasakan
kebahagian. Tetapi pada masa itu kebahagiaan yang aku rasakan tidak sama dengan
kebahagian yang dirasakan anak-anak zaman sekarang. Bahkan pada saat itu, aku
sama sekali tidak merasakan yang namanya kebahagiaan sesungguhnya pada masa
kanak-kanaku dulu. karena Setiap hari
aku harus dihantui dengan suara ledakan dan suara tembakan peluru
dimana-dimana. Tidak jarang kami harus tiarap dan mengunci pintu agar terlindungi
dan tidak ada peluru nyasar yang mengenai keluarga kami. Begitulah setiap hari
yang ku alami ketika masih tinggal di kampung kelahiranku dulu yaitu Samalanga,
Pidie jaya, Aceh. Sangat takut memang, tapi apa boleh buat karena begitulah
nasib kita tinggal di negeri konflik. Ada suatu ketika itu, aku ingat ketika
segerombolan tentara turun ke desa kami, mereka menyuruh setiap rumah untuk
menaiki bendera merah putih yang merupakan lambang bendera Indonesia. Kebetulan
rumahku tidak menaiki bendera karena ibu memang benar-benar lupa menaruh
bendera tersebut dimana. lalu tiba-tiba dua orang tentara mendekati pintu rumah
kami, dengan suara keras dan wajah yang sangat marah, mereka memarahi ibuku
dengan spontan, ibu terdiam sambil menundukkan kepala dan aku hanya bisa
menangis dan bersembunyi di belakang ibu. Aku takut, karena di dalam pikiranku
mereka akan mengambil senjata yang tergantung di punggung mereka dan dengan
spontan mereka akan menembak kami berdua yang kebetulan hanya kami berdua saat
itu. Rupanya masalah rumahku tidak menaiki bendera tidak di perpanjang. mereka
hanya mengingati ibu agar tidak terjadi seperti ini lagi. Ketika masa-masa
konflik, Setiap hari para TNI selalu turun ke kampung untuk patroli. entah apa
yang di patroli aku sama tidak tahu karena aku masih sangat kecil waktu itu,
aku hanya tahu dan ingat teman-temanku untuk selalu bermain tanpa memikirkan
apapun. tapi setiap kami sedang bermain, selalu terdengar tembakan-tembakan
yang dahsyat. Tentunya kami harus
berhenti bermain dan pulang ke rumah dengan hati yang karuan dengan suara-suara
tembakan yang karuan pula. Aku sering tidak tahan dengan keadaan seperti itu.
Setiap hari kami harus mengurungkan diri dirumah dan mengunci pintu rapat-rapat
guna agar tidak terjadi hal-hal buruk yang tak di inginkan. Bahkan ketika aku
sudah masuk sekolah pun kami harus diliburkan setiap hari karena takut akan
terjadi kontak senjata di sekolah. Tapi aku sebenarnya tidak peduli dengan
keadaan seprti itu karena aku masih belum tahu apa-apa. karena yang aku ingin hanyalah bermain bersama
teman-teman. sering kali ibu memarahiku dan kerap aku menangis karena selalu
merengek-merengek minta keluar untuk melanjutkan permainanku bersama teman-teman.
Selang beberapa hari, tiba-tiba terdengar berita yaitu jika pasar ulee gle yang
merupakan kampung asal ibuku telah dibakar ludes oleh para TNI, kami sempat
tidak percaya, lalu ibu menanyakan hal itu kepada kakek kami dan ternyata benar
dan alhamdulillah keluarga kakek di sana tidak apa-apa. Beberapa hari setelah
terdengarnya kebakaran pasar ule gle, lalu terdengar kabar jika tidak akan lama
pasar Simpang Mamplam akan di bakar juga, pasar itu tidak terlalu jauh dengan
tempat kami tinggal, lalu masyarakat kampungku berencena membuat sesuatu supaya
para TNI tidak lolos ke kampung kami untuk dibakarnya juga. mereka berencana
untuk meletak sesuatu di jalan masuk ke desa kami, akhirnya masyarakat
kampungku mengangkat jambo jaga(pos kamling) dan meletaknya pas di jalan masuk
ke kampungku. Berhari-hari kami tidak bisa keluar dari kampung karena jalannya
telah di tutup. Seminggu berlalu akhirnya benar dugaan masyarakat kampungku yaitu
tiba saatnya dimana para TNI membakar seluruh pasar Simpang Mamplam sampai
habis hangus terbakar tanpa bersisa. Suara tembakan kala itu sangat dahsyat dan
tidak terhitung jumlahnya berapa. Suara tembakan itu sangat dekat dan aku
bersama keluargaku hanya bisa berdoa sambil terduduk diam di rumah yang seakan-akan
tengah berada di ujung tanduk. Sekitar 15 menit suara tembakan itu hilang, kami
menuju ke pintu belakang dan kami melihat banyak sekali gumpalan asap hitam
yang terbang ke atas langit. Kami sangat takut dan hanya bisa memanjatkan doa
kepada sang pencipta. kami bersyukur karena tentara-tentara itu tidak masuk ke
desa kami. Tapi aku sangat sedih melihat Para-para pemilik toko-toko di pasar
tersebut merasa sangat dirugikan karena bertahun-tahun mereka membangun toko
itu dengan susah payah. Dan dari situlah pendapatan para orang tua untuk
mrnafkahi anak-anaknya, tapi apa daya mereka harus merelakan tokonya hangus
dibakar begitu saja. Lama-kelamaan toko-toko itu mulai di bangun kembali dan
tiba-tiba ayah memutuskan untuk pindah dari kampung tersebut, karena ayah
merasa jika kampung itu sudah mulai tidak aman. Akhirnya kami semua pindah ke
kampung Ibu di Uleegle,Pidie Jaya,Aceh. kami tinggal di rumah sederhana yang
dekat dengan laut serta dekat dengan rumah kakek. Aku pun masuk ke sekolah
baru, dan bertemu dengan teman-teman baru juga. Aku senang walaupun
kadang-kadang kami juga mendengar suara tembakan, tapi kampung ini lumayan aman
daripada kampung kelahiranku. Ketika aku duduk di bangku kelas 3 SD. Aku
kembali merasakan hal pahit kala itu. Rupanya konflik bersenjata belum juga berakhir.
Kami mendengar jika GAM akan membakar seluruh sekolah-sekolah yang ada
disekitar itu karena supaya para TNI tidak menginap di sekolah-sekolah. Aku
berpikir, jika mereka membakarnya, nanti aku dan juga teman-temanku sekolah
dimana. Pikiranku semakin tak karuan karena sekolah SMP dan MIN yang dekat
dengan sekolah kami telah di bakar, tapi aku heran rupanya GAM tidak membakar
sekolah kami dan bahkan sekolah tersebut masih berdiri kokoh sampai sekarang
ini. Aku senang bisa bersekolah di gedung sekolah, tidak seperti teman-temanku
yang lain yang harus bersekolah di tenda-tenda. Rupanya Kakekku adalah seorang
ulama, aku sering bermain ke tempat kakek, dan sering kali para TNI bertamu di
rumah kakek. Kata ayah, TNI menghormati para ulama makanya sering sekali ke
tempat kakek untuk bertamu. Pernah suatu hari ayah bercerita padaku, ketika
itu, ayah dan ibu sedang pergi ke suatu tempat dengan kereta, tiba-tiba ada
sekitar lima orang TNI menyetopi perjalanan ayah dan ibu. Para TNI hendak
menangkap ibu dan ayah dan juga kereta yang di bawa ayah. Lalu ibu bilang jika
ibu adalah anak seorang ulama dan ayah juga bilang jika ayah adalah menantu
seorang ulama juga. Dan akhirnya para TNI itu melepaskan ibu dan ayahku. Pernah
juga suatu ketika. Segerombolan TNI turun ke kampungku, mereka memasuki suatu
warung kopi yang kebetulan ada ayah yang sedang minum kopi juga. Para TNI
sepertinya geram kepada orang-orang yang duduk di warkop itu, lalu mereka
memberi pelajaran dengan cara menyuruh membuka baju semua orang yang ada
disitu. Dan menyuruh mereka untuk tidur berbaris di jalan dan para TNI berjalan
di atas badan orang tersebut termasuk ayaku seolah-olah mereka berjalan di atas
jembatan. Aku dan ibu sangat sedih mendengar mereka memperlakukan masyarakat
desa kami begitu. Begitulah yang dilakukan para tentara setiap kali turun ke
kampung-kampung. Setelah itu selang beberapa hari lagi, para TNI turun ke
kampungku lagi. Saat itu ada salah satu penduduk yang kebetulan juga tetangga
kami, dia sangat ketakutan dan lalu berteriak sambil lari, tujuan dia begitu
adalah ingin memberi tahu kepada masyarakat bahwa TNI datang, tapi sayangnya
TNI melihat dia dan mengejar dia lalu di pukuli rame-rame sampai babak belur.
Para TNI mengira dia adalah GAM karena dia lari ketakutan. Setelah berbulan-berbulan
hidup dikampungku yang baru terasa sudah sedikit aman, karena TNI ataupun GAM
tidak lagi turun ke desa kami, walaupun kala itu masih saja tetap terjadi
kontak senjata dimana-dimana. Aku dan keluargaku mulai tidak takut lagi dan
menikmati indahnya hidup. Perlahan-lahan kami mencoba melupakan masa-masa pahit
itu, tetapi belum juga perih yang kami rasakan ketika konflik hilang, rupanya
Allah berkehendak lain, tepatnya tujuh tahun yang lalu Aceh mengalami musibah
yang sangat dahsyat yaitu gempa bumi disertai gelombang tsunami. Rumahku dan
isinya rata di terjang air laut, aku merasa hidupku tidak ada gairah lagi,
rasanya aku tidak ada lagi harapan hidup kala itu. Tapi aku sangat bersyukur,
karena ketika masa konflik dan tsunami keluargaku semuanya selamat. Kata ibu,
Allah meberikan cobaan kepada kita karena Allah marah mengapa manusia suka
sekali berperang dan bertumpah darah di atas bumi tercinta ini. Padahal, Allah
menyuruh kita untuk menjaga dan melestarikan bumi ini. Setelah dua tahun
setelah tsunami dan Aceh pun sudah damai, Ayah memutuskan untuk mengajak kami
sekeluarga pindah ke kota Banda Aceh, karena ayah bilang, hidup kita itu harus
tetap berjalan walaupun ada musibah dan cobaan.
**Nyakti Mardalena**
Tulisanku ketika kelas dua SMA ckckckck :p :D ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar