Kamis, 31 Oktober 2013

Surat Untuk Jepang

TO:
 CHILDREN OF OTSUCHI TOWN
Ogenki Desuka?

How are you Japan? Especially Otsuchi Town? Is that okay like when I visited there last year???. Remember me? I’m Nyakti Mardalena from Aceh. I have been visited Japan on november 14-23th 2011. I’m still remember all about that. Especcially when I visited Iwate Perfecture. We visited two schools. Two class of elementary school, and two class of senior high school in Otsuchi Town. We shared our experience each other.  I remember when I shared my expirience with a student of senior high school. I sitted next to her and we shared each other. Next, in another class, I was taught to write katakana writing by a student. And she wrote my name in katakana writing on paper.

After that, at night. We were celebrated welcome party by Otsuchi Town people. We were very happy. The wonderful experience. The children and the people of Otsuchi were very friendly. They showed us their culture.
IMG_2342j.JPG
I want to tell you about my activities after came back from Japan. I have much activities in here. I got much lessons after visited Japan. I’m more dilligent and cleverer now. on july 28-01st 2012, I was invited by KPAI(Komisi Perlindungan Anak Indonesia) to come to Jakarta for National Children’s Day Meeting. I was invited because I was a member of Children Organization in Banda Aceh and I was a child victims of conflict in Aceh six years ago. I was invited represent Aceh to meet all children who represent their province in Indonesia to Jakarta, too. I’m very proud because that was the first time I went to Jakarta and can met all children, gets more experience about children. There’re some pictures of  my activities in Jakarta below.



Now, I’m focus to my school. Because next year I will follow the last examnination to graduate from Senior High School.
I send this letter  through my friends who will go to Japan this year. They are smart children, and you will see them when they visit Otsuchi Town like we visited Otsuchi last year.
I wrote this lesson to kept maintain our relationship because it’s inpossible if we can meet each other directly.  So, my message to the children of Otsuchi is still remember me and I’m still remember you forever, focus to your future and I will wait you to come to Aceh next time.                          
SEE YOU NEXT TIME. I MISS YOU !!

FROM:
 NYAKTI MARDALENA





Jumat, 25 Oktober 2013

Empat Anak Aceh Berkunjung ke Lokasi Tsunami di Otsuchi, Jepang (November 2011)



Tanggal 14 s/d 23 November 2011. Empat anak Aceh, Nyakti Mardalena (16 tahun), Noera Nadia (18 tahun), Ahmad Mukmal (14 tahun), Yulda Pratidina(16 tahun) dan 2 orang pendamping Abdullah Madya (42 tahun) selaku pimpinan/penasehat LCO(Lost Children Operation) dan Eva Mutya Dewi(28 tahun) selaku guru bahasa inggris di Kougetsu School di undang ke Jepang untuk kunjungan persahabatan oleh PAC Jepang, dana yang di keluarkan ialah dari donatur pemerintah Aceh dan pihak PAC jepang. Di sana mereka di ajak untuk mengunjungi tempat-tempat penting seperti ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo, ke kantor Gubernur Iwate di Sendai, ke kantor Bupati Osuchi, ke kantor Konsulat Indonesia di Osaka, dan tempat-tempat penting lainnya.
Pengalaman yang sangat seru adalah ketika anak-anak Aceh mengunjungi sekolah-sekolah darurat di Otsuchi. Otsuchi adalah lokasi yang cukup parah di Jepang yang diterjang oleh tsunami bulan maret silam. 26 Desember 2004 yang lalu, Aceh juga di kejutkan oleh bencana yang dasyat yaitu gempa dan gelombang tsunami, telah menelan korban sekitar 200.000 jiwa. Tidak pernah di sangka ternyata bencana serupa terjadi juga di Otsuchi, Jepang. Memahami perasaan para korban yang mengalami hal serupa, empat anak Aceh mengunjungi sejumlah sekolah di sana untuk menghibur dan berbagi penglaman. Kunjungan tersebut berlangsung hari Jumat (18/11/2011) pada pagi hari yaitu sekolah SD (4 kelas) dan sekolah SMP (4 kelas). Empat anak Aceh  tersebut pertama mengira akan menemukan muka sedih dari wajah para murid di sekolah tersebut, ternyata apa yang terjadi mereka malah menyambutnya dengan senyuman dan sangat antusias. Dalam sesi pertemuan, ke empat anak Aceh menyanyikan lagu Indonesia Pusaka dan para murid sekolah tersebut juga menampilkan nyanyian Jepang mereka. Tidak lupa juga anak Aceh memberikan banner yang berisi tanda tangan para anak Aceh yang merupakan korban tsunami juga. Kemudian, anak Aceh  diajari melukis shodo (kaligrafi). Ke empat anak Aceh tersebut sangat bersyukur sekali karena di beri kesempatan untuk berkunjung ke lokasi Tsunami di Jepang. Ini merupakan pengalaman yang sangat luar biasa bagi mereka.



Kemudian, pada malam hari rombongan dari Aceh di sambut oleh welcome party oleh penduduk setempat di salah satu rumah sementara para pengungsi. Keempat anak Aceh tersebut menampilkan tarian kreasi khas Aceh dan sejumlah nyanyian Jepang yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum keberangkatan. Sekitar 50 penonton dari warga setempat, terlihat kagum, dan antusias menyaksikan penampilan dari keempat anak Aceh tersebut. Keesokan harinya, Nyakti Mardalena, Ahmad Mukmal, Yulda Pratidina dan Pakwa di undang ke lapangan bola untuk bermain bola bersama tim klub Junior Otsuchi. Bagi anak Aceh, ini permainan bola paling seru, karena ini kesempatan yang sangat luar biasa bisa bertanding bola dengan mereka. Sedangkan Noera Nadia bersama pendamping Eva Mutya Dewi tetap berada di rumah penginapan untuk memasak nasi goreng khas Aceh untuk anak-anak kelompok pembaca Otsuchi. Ternyata mereka sangat menyukai sekali nasi goreng buatan anak Aceh tersebut  sehingga beberapa kali tambah.
Kunjungan keempat anak Aceh tersebut di akhiri di Osaka yaitu dimana mereka  diberi kesempatan untuk menikmati setiap wahana di Universal Studio Japan (USJ). Menurut mereka, ini adalah pengalaman paling seru selama mereka berada di negeri sakura tersebut. Dan mereka berharap suatu saat bisa kembali menikmati setiap wahana tersebut. Kunjungan keempat anak tersebut, di sponsori oleh Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Lost Children Operation (LCO). Awalnya LSM ini membentuk tim pencari anak hilang saat bencana tsunami yang terjadi di Aceh. Kemudian di tahun 2005, LCO memberikan sejumlah bantuan dan dukungan bagi anak-anak yatim piatu dan korban tsunami Aceh, serta mendirikan sekolah Kougetsu School yaitu kelas bahasa inggris dan kelas bahasa jepang di kabupaten Aceh Besar.  

**Nyakti Mardalena**

Kamis, 24 Oktober 2013

PERMASALAHAN ANAK ACEH PASCA KONFLIK

Masa konflik dan kekerasan yang berkepanjangan di Aceh antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan hal yang sangat sulit di alami oleh Masyarakat Aceh khusunya anak‐anak. Tidak terhitung berapa Korban Jiwa , orang‐orang yang mengalami trauma , kerusakan benda, kerugian materi. Kejadian‐kejadian yang sangat berdampak buruk terus dirasakan oleh Rakyat Aceh pada masa itu. Kekekrasan, pembubunuhan dimana‐dimana oleh pihak tertentu merupakan hal yang sangat tidak wajar dirasakan oleh anak‐anak. Aceh secara khususnya menjadi tempat yang sangat tragis dan membahayakan bagi kehidupan sehari‐hari. Kepentingn politik pihak tertentu menjadi sebuah alasan tanpa mempedulikan yang lain. Pada masa itu Masyarakat Aceh mengalami kekerasan oleh Militer, terjadinya penyekapan, Pemerkosaan. Pembunuhan, penyiksasaan oleh militer kepada rakyat aceh. Rakyat menderita karena kepentingan‐kepentingan politik yang ingin dimenangi oleh pihak tertentu. Ditambahkan lagi adanya Bencana Tsunami yang memporak‐porandakan Aceh, Tanggal 26 Desember 2004, yang banyak menelan korban Jiwa , menghancurka infrstruktur. Semakin jelas Aceh terus digulir dengan bencana‐bencana, baik bencana social maupun Bencana alam. Akhirnya Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sangat serius dalam menyelesaikan konflik di Aceh. Setelah proses yang sangat panjang Akhirnya Perundingan perdamaian di Aceh terwujud. Tanggal 15 Agustus 2005 momentum yang sangat bahagia yang di rasakan oleh Rakyat Aceh secara Khususnya Anak‐anak. Pendatanganan MoU Helsinski yang menandakan berakhirnya konflik dan kekerasan di Aceh yang dirasakan 30 tahun lebih senjak tahun 1976. Rakyat Aceh telah kembali dapat menikmati kehidupan normal sebagaimana yang dirasakan masyarakat diluar Aceh. Sudah berani menempuh perjalanan di malam hari, baik di pedesaan maupun di perkotaan, anak‐anak mulai berani pergi sekolah seperti biasanya, Sudah bisa berusaha dengan tenang untuk memperbaiki ekonomi keluarga pasca tsunami dan konflik. Keaadaan jauh lebih sangat baik, Tentram dan Sejahtera. Akankah kehidupan normal ini akan berlangsung untuk seterusnya? Secara umum dapat kita lihat, perubahan Aceh pasca Konflik terus di benahi, mulai dari segi pembangunan dalam pemulihan dilingkungan masyarakat, Anakanak, dan lain‐lain. Aceh kembali menjadi Semula sudah damai, namun tidak dapat dipungkiri karena perdamaian di Aceh adalah sebuah hadiah kenikmatan yang akan di rasakan oleh masyarakata Aceh kedepan. Anak‐anak Aceh sebagai generasi penerus bangsa terus dilindungi dan diberikan pemulihan/terapi secara tahap demi tahap. Ketraumaan anak‐anak Aceh dimasa konflik tidak dapat kita anggap sebuah hal biasa, pengalaman dimasa lalu terus direkam dalam ingatan Ana‐anak Aceh. Namun dengan Aceh masa kini, perlindungan kepada anak adalah perlu kita laksanakan secara berlahan‐lahan, sehingga anak Aceh kembali seperti layaknya mereka besekolah, bermain, mengaji dll. tanpa ada hirauan atan tantangan dan rintangan apapun.

Penelitian PKPA Aceh 2012

Berdasarkan penelitian lembaga Pusat Kajian dan Perlindungan (PKPA) Aceh. Terkait dengan permasalahan anak Aceh Pasca Konflik yang kita lakukan secara interview dengan Tokoh masyarakat, Anak Korban konflik langsung ataupun anak korban Konflik tidak langsung, dan Anak Putus Sekolah akibat Konflik . Yang ternyata kita menemukan banyak hal dari kajian tersebut. Aceh secara umum sudah jauh lebih membaik dari sebelumnya. Aktifitas masyarakat dari sektor manapun sudah mulai berkembang,. Semangat dalam menata hidup terus ditekuni oleh rakyat Aceh tanpa ada kekaruan yang dirasakan masa konflik dulu. Pengalaman masa konflik adalah suatu kenyataan tidak bisa dilupakan oleh masyarakat Aceh, Perdamaain adalah anugerah bagi kami. Kajian PKPA juga menyebutkan ternyata masih banyak masalah‐masalah terkait dengan anak korban konflik yang dialami Anak‐Anak Aceh saat ini. Anak Putus Sekolah Akibatkan konflik merupakan perhatian kita bersama, saat ini mereka tidak sekolah karena faktor ekonomi . Permasalah Ekonomi menjadi salah satu pertimbangan mereka, Anak Yatim Piatu, mereka juga merasakan hal yang sama putus sekolah. Bantuan Rekonsiliasi dan Mitigasi Konflik yang diberikan untuk mereka belum terealisasikan secara penuh. Secara Psikososial kita melihat bahwa anak secara umum masih mengalami ketraumaan yanga mendalam , dari tingkah laku anak ketika disekolah, didesa menujukkan bahwa anak‐anak masih terbawa ingatan masa lalu, Uraian mereka menyetakan Ada anak yang menyaksikan sendiri rumah mereka di bakar berikut dengan orang yang bersembunyi dirumah mereka, padahal orang tersebut masih hidup hanya terkena luka tembak. Orang tersebut mati terbakar bersama rumah anak tersebut. Ada juga anak yang Bapaknya meninggal karena di tembak, dan ibunya tahu siapa yang menembaknya tapi Ibunya memilih untuk tidak menceritakan siapa yang menembaknya. Sementara mereka sudah pernah merasakan hidup di pengungsian. Disamping itu menurut mereka semasa konflik, karena jarak rumah mereka sangat berjauhan, mereka dimalam hari memilih berkumpul dengan para tetangga mereka yang lain. Namun situasi itu sudah tidak mereka rasakan lagi sekarang, tapi yang tertinggal hanya perasaan sedih kalau mengingat orang terdekat mereka yang telah hilang ataupun meninggal karena di tembak. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Aceh Pasca Konflik menilai program yang dilakukan selama ini tidak mendukung langsung kepada sasaran anak, masih ada anak‐anak Putus sekolah, dan sedangkan secara psikososial anak mereka Masih merasa takut bahwa Konflik ini akan terulang kembali dikarenakan banyak dari mereka selama pasca Konflik Aceh belum pernah menerima program‐program pemulihan secara Psikososial. Meskipun demikian, Permasalahan anak korban Konflik Aceh merupakan tanggung jawab kita bersama untuk terus memastikan bahwa mereka harus berada diposisi yang aman. Perdamaian Aceh yang hampir mendekati tujuh Tahun adalah sebuah perjalanan yang sangat panjang demi mecapai kemakmuran Masyarakat Aceh.

**Nyakti Mardalena**

PENGALAMANKU DI MASA KONFLIK ACEH DULU



Pada saat itu, aku masih sangat kecil dimana aku hidup di daerah kontak senjata antara GAM dan TNI. Umurku kira-kira 5 tahun dan tentunya sejak itu aku belum duduk di bangku sekolah. Walaupun aku masih kecil, tapi aku masih ingat kejadian-kejadian yang sangat pedih pada masa konflik tersebut. Kala itu, Kehidupan keluargaku bisa dibilang kehidupan yang sangat sederhana dan bahagia. Aku memiliki orang tua yang sangat penyayang dan dua orang kakak laki-laki yang sangat sayang kepadaku. Setiap anak pasti ingin merasakan kebahagian. Tetapi pada masa itu kebahagiaan yang aku rasakan tidak sama dengan kebahagian yang dirasakan anak-anak zaman sekarang. Bahkan pada saat itu, aku sama sekali tidak merasakan yang namanya kebahagiaan sesungguhnya pada masa kanak-kanaku dulu. karena  Setiap hari aku harus dihantui dengan suara ledakan dan suara tembakan peluru dimana-dimana. Tidak jarang kami harus tiarap dan mengunci pintu agar terlindungi dan tidak ada peluru nyasar yang mengenai keluarga kami. Begitulah setiap hari yang ku alami ketika masih tinggal di kampung kelahiranku dulu yaitu Samalanga, Pidie jaya, Aceh. Sangat takut memang, tapi apa boleh buat karena begitulah nasib kita tinggal di negeri konflik. Ada suatu ketika itu, aku ingat ketika segerombolan tentara turun ke desa kami, mereka menyuruh setiap rumah untuk menaiki bendera merah putih yang merupakan lambang bendera Indonesia. Kebetulan rumahku tidak menaiki bendera karena ibu memang benar-benar lupa menaruh bendera tersebut dimana. lalu tiba-tiba dua orang tentara mendekati pintu rumah kami, dengan suara keras dan wajah yang sangat marah, mereka memarahi ibuku dengan spontan, ibu terdiam sambil menundukkan kepala dan aku hanya bisa menangis dan bersembunyi di belakang ibu. Aku takut, karena di dalam pikiranku mereka akan mengambil senjata yang tergantung di punggung mereka dan dengan spontan mereka akan menembak kami berdua yang kebetulan hanya kami berdua saat itu. Rupanya masalah rumahku tidak menaiki bendera tidak di perpanjang. mereka hanya mengingati ibu agar tidak terjadi seperti ini lagi. Ketika masa-masa konflik, Setiap hari para TNI selalu turun ke kampung untuk patroli. entah apa yang di patroli aku sama tidak tahu karena aku masih sangat kecil waktu itu, aku hanya tahu dan ingat teman-temanku untuk selalu bermain tanpa memikirkan apapun. tapi setiap kami sedang bermain, selalu terdengar tembakan-tembakan yang dahsyat. Tentunya kami  harus berhenti bermain dan pulang ke rumah dengan hati yang karuan dengan suara-suara tembakan yang karuan pula. Aku sering tidak tahan dengan keadaan seperti itu. Setiap hari kami harus mengurungkan diri dirumah dan mengunci pintu rapat-rapat guna agar tidak terjadi hal-hal buruk yang tak di inginkan. Bahkan ketika aku sudah masuk sekolah pun kami harus diliburkan setiap hari karena takut akan terjadi kontak senjata di sekolah. Tapi aku sebenarnya tidak peduli dengan keadaan seprti itu karena aku masih belum tahu apa-apa. karena  yang aku ingin hanyalah bermain bersama teman-teman. sering kali ibu memarahiku dan kerap aku menangis karena selalu merengek-merengek minta keluar untuk melanjutkan permainanku bersama teman-teman. Selang beberapa hari, tiba-tiba terdengar  berita yaitu jika pasar ulee gle yang merupakan kampung asal ibuku telah dibakar ludes oleh para TNI, kami sempat tidak percaya, lalu ibu menanyakan hal itu kepada kakek kami dan ternyata benar dan alhamdulillah keluarga kakek di sana tidak apa-apa. Beberapa hari setelah terdengarnya kebakaran pasar ule gle, lalu terdengar kabar jika tidak akan lama pasar Simpang Mamplam akan di bakar juga, pasar itu tidak terlalu jauh dengan tempat kami tinggal, lalu masyarakat kampungku berencena membuat sesuatu supaya para TNI tidak lolos ke kampung kami untuk dibakarnya juga. mereka berencana untuk meletak sesuatu di jalan masuk ke desa kami, akhirnya masyarakat kampungku mengangkat jambo jaga(pos kamling) dan meletaknya pas di jalan masuk ke kampungku. Berhari-hari kami tidak bisa keluar dari kampung karena jalannya telah di tutup. Seminggu berlalu akhirnya benar dugaan masyarakat kampungku yaitu tiba saatnya dimana para TNI membakar seluruh pasar Simpang Mamplam sampai habis hangus terbakar tanpa bersisa. Suara tembakan kala itu sangat dahsyat dan tidak terhitung jumlahnya berapa. Suara tembakan itu sangat dekat dan aku bersama keluargaku hanya bisa berdoa sambil terduduk diam di rumah yang seakan-akan tengah berada di ujung tanduk. Sekitar 15 menit suara tembakan itu hilang, kami menuju ke pintu belakang dan kami melihat banyak sekali gumpalan asap hitam yang terbang ke atas langit. Kami sangat takut dan hanya bisa memanjatkan doa kepada sang pencipta. kami bersyukur karena tentara-tentara itu tidak masuk ke desa kami. Tapi aku sangat sedih melihat Para-para pemilik toko-toko di pasar tersebut merasa sangat dirugikan karena bertahun-tahun mereka membangun toko itu dengan susah payah. Dan dari situlah pendapatan para orang tua untuk mrnafkahi anak-anaknya, tapi apa daya mereka harus merelakan tokonya hangus dibakar begitu saja. Lama-kelamaan toko-toko itu mulai di bangun kembali dan tiba-tiba ayah memutuskan untuk pindah dari kampung tersebut, karena ayah merasa jika kampung itu sudah mulai tidak aman. Akhirnya kami semua pindah ke kampung Ibu di Uleegle,Pidie Jaya,Aceh. kami tinggal di rumah sederhana yang dekat dengan laut serta dekat dengan rumah kakek. Aku pun masuk ke sekolah baru, dan bertemu dengan teman-teman baru juga. Aku senang walaupun kadang-kadang kami juga mendengar suara tembakan, tapi kampung ini lumayan aman daripada kampung kelahiranku. Ketika aku duduk di bangku kelas 3 SD. Aku kembali merasakan hal pahit kala itu. Rupanya konflik bersenjata belum juga berakhir. Kami mendengar jika GAM akan membakar seluruh sekolah-sekolah yang ada disekitar itu karena supaya para TNI tidak menginap di sekolah-sekolah. Aku berpikir, jika mereka membakarnya, nanti aku dan juga teman-temanku sekolah dimana. Pikiranku semakin tak karuan karena sekolah SMP dan MIN yang dekat dengan sekolah kami telah di bakar, tapi aku heran rupanya GAM tidak membakar sekolah kami dan bahkan sekolah tersebut masih berdiri kokoh sampai sekarang ini. Aku senang bisa bersekolah di gedung sekolah, tidak seperti teman-temanku yang lain yang harus bersekolah di tenda-tenda. Rupanya Kakekku adalah seorang ulama, aku sering bermain ke tempat kakek, dan sering kali para TNI bertamu di rumah kakek. Kata ayah, TNI menghormati para ulama makanya sering sekali ke tempat kakek untuk bertamu. Pernah suatu hari ayah bercerita padaku, ketika itu, ayah dan ibu sedang pergi ke suatu tempat dengan kereta, tiba-tiba ada sekitar lima orang TNI menyetopi perjalanan ayah dan ibu. Para TNI hendak menangkap ibu dan ayah dan juga kereta yang di bawa ayah. Lalu ibu bilang jika ibu adalah anak seorang ulama dan ayah juga bilang jika ayah adalah menantu seorang ulama juga. Dan akhirnya para TNI itu melepaskan ibu dan ayahku. Pernah juga suatu ketika. Segerombolan TNI turun ke kampungku, mereka memasuki suatu warung kopi yang kebetulan ada ayah yang sedang minum kopi juga. Para TNI sepertinya geram kepada orang-orang yang duduk di warkop itu, lalu mereka memberi pelajaran dengan cara menyuruh membuka baju semua orang yang ada disitu. Dan menyuruh mereka untuk tidur berbaris di jalan dan para TNI berjalan di atas badan orang tersebut termasuk ayaku seolah-olah mereka berjalan di atas jembatan. Aku dan ibu sangat sedih mendengar mereka memperlakukan masyarakat desa kami begitu. Begitulah yang dilakukan para tentara setiap kali turun ke kampung-kampung. Setelah itu selang beberapa hari lagi, para TNI turun ke kampungku lagi. Saat itu ada salah satu penduduk yang kebetulan juga tetangga kami, dia sangat ketakutan dan lalu berteriak sambil lari, tujuan dia begitu adalah ingin memberi tahu kepada masyarakat bahwa TNI datang, tapi sayangnya TNI melihat dia dan mengejar dia lalu di pukuli rame-rame sampai babak belur. Para TNI mengira dia adalah GAM karena dia lari ketakutan. Setelah berbulan-berbulan hidup dikampungku yang baru terasa sudah sedikit aman, karena TNI ataupun GAM tidak lagi turun ke desa kami, walaupun kala itu masih saja tetap terjadi kontak senjata dimana-dimana. Aku dan keluargaku mulai tidak takut lagi dan menikmati indahnya hidup. Perlahan-lahan kami mencoba melupakan masa-masa pahit itu, tetapi belum juga perih yang kami rasakan ketika konflik hilang, rupanya Allah berkehendak lain, tepatnya tujuh tahun yang lalu Aceh mengalami musibah yang sangat dahsyat yaitu gempa bumi disertai gelombang tsunami. Rumahku dan isinya rata di terjang air laut, aku merasa hidupku tidak ada gairah lagi, rasanya aku tidak ada lagi harapan hidup kala itu. Tapi aku sangat bersyukur, karena ketika masa konflik dan tsunami keluargaku semuanya selamat. Kata ibu, Allah meberikan cobaan kepada kita karena Allah marah mengapa manusia suka sekali berperang dan bertumpah darah di atas bumi tercinta ini. Padahal, Allah menyuruh kita untuk menjaga dan melestarikan bumi ini. Setelah dua tahun setelah tsunami dan Aceh pun sudah damai, Ayah memutuskan untuk mengajak kami sekeluarga pindah ke kota Banda Aceh, karena ayah bilang, hidup kita itu harus tetap berjalan walaupun ada musibah dan cobaan.

**Nyakti Mardalena**


Tulisanku ketika kelas dua SMA ckckckck :p :D ;) 

MENJAGA LINGKUNGAN BERSIH DAN SEHAT, SULITKAH ?


Banyak orang yang masabodoh terhadap kebersihan lingkungan rumah, sekolah dan sekitarnya. Walaupun itu rumah sendiri. Padahal menjaga lingkungan yang bersih dan sehat  sangatlah perlu. Lingkungan bersih akan mencerminkan tingkat kesehatan orang. Hidup  bersih berarti bebas dari sampah dan kotoran, barang bekas yang tidak berceceran di mana-mana. Hidup yang sehat berarti terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, mental dan sosial. Pasti semua orang mendambakan hidup sehat. Karena sakit itu mahal.
 Tapi, yang terjadi  tidak seperti  yang kita inginkan. Buktinya saja lingkungan rumah dan sekolah masih belum bersih. Ini bisa kita lihat dari perilaku buruk masyarakat yang masih membuang sampah di samping rumah, selokan, sungai dan sebagainnya. Padahal menjadikan lingkungan yang bersih itu tidaklah sulit, kuncinya hanya dengan membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya, berkebun dan merawat tanaman sekitar rumah dan sekolah. Apabila ingin membuang sampah pada pembuangan terakhir, lebih baik pisahkan dulu antara sampah kering dan basah. Cara lain, mengutamakan keselamatan alam dan berusaha untuk mendaur ulang barang-barang bekas yang masih bisa dipakai. Bagi kita generasi muda, selalu ikut berpartisipasi terhadap Bumi Sehat, kampanye Global Warming atau hal-hal lain, karena bumi dan alam ini adalah warisan dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita jaga serta tingkatkan terus kesadaran kita.  

**Nyakti Mardalena**


Itulah tulisan pertamaku waktu kelas satu SMA hehehehe :D :D