Ini adalah sepenggal
pengalamanku,
pengalaman
yang mungkin biasa-biasa saja, namun begitu luar biasa bagiku. Kira-kira saat
itu adalah hari kedua aku berada di negeri matahari terbit atau negeri sakura,
sebutan untuk negara yang beribukota Tokyo tersebut. Sepenggal kisahku ketika
sedang dalam perjalanan menuju kota Otsuchi. Kota yang berada di arah utara
negara Jepang dimana kota itu mengalami musibah tsunami
terparah sepanjang tahun yang terjadi pada bulan maret tahun 2011 silam.
Tak sabar jari-jari
tanganku ingin bercerita tentang sepenggal kisah itu. Siang itu, seusai
menyantap makan siang di kota Tokyo, tepatnya di Times Squere. Tempat yang
begitu luas dan besar serta gedungnya tinggi mencakar langit dan sama sekali belum
pernah kujumpai
di negeriku
Indonesia. Aku dan rombongan langsung beranjak menunjuk ke stasiun bus.
tempatnya tak begitu jauh, hanya memerlukan waktu 15 menit saja untuk sampai
disana dengan berjalan kaki. kami akan melakukan perjalanan ke arah utara
negeri sakura itu. Sepertinya perjalanannya cukup jauh, "kira-kira akan menghabiskan waktu
sekitar 8 jam".
Begitu kata salah satu pemandu kami.
Dalam bus, aku melihat
para penumpang yang semuanya
bermata sipit. Aku sempat bingung melihat mereka yang hampir semuanya mirip
satu sama lain,
ini
mungkin karena aku belum sering melihat orang jepang secara banyak sekaligus.
Para penumpang yang di dalam bus itu tidak berhenti menatap ke arah kami. Aku
sempat grogi dibuatnya. Mungkin karena asing melihat orang seperti kami
yang mengenakan kerudung,
Apalagi mereka melihatnya secara
langsung dan
mungkin juga mereka penasaran mengapa ada kami yang
mungkin kelihatan asing
dalam bus ini.
Aku duduk di bangku
baris ketiga dari arah depan. bersyukur aku dapat tempat duduk dekat dengan
jendela bus. dengan itu aku bisa melihat seluk-beluk dari arah kanan bus itu. Setelah semuanya beres.
Bus pun berangkat. Tak begitu cepat melajunya. Melewati setiap sudut kota
tokyo. Aku melihat orang-orang tokyo yang begitu sibuk melangkah setiap
hentakan kakinya. Tak satu pun dari mereka yang berjalan pelan,
tidak seperti jalanya
sepasang pengantin. Mereka terlalu mementingkan waktu. Sepertinya tak sedetik pun
terbuang begitu saja. Gedung-gedung yang menjulang tinggi membuat mataku
terbelalak dengan keindahan sudut kota tokyo. Gedung-gedung yang berjajar
begitu rapi dan toko-toko yang berdiri teratur tertata rapi. Bus terus berjalan
melaju kearah luar kota tokyo. Kini lajuannya sudah sedikit cepat. Karena jalan
yang di lewati adalah jalan antar kota.
Aku tak ingin
melewati setiap tatapanku. Ini adalah kesempatan ku melihat indahnya negeri
sakura itu. Tapi sayang, ternyata tak sadar aku tertidur sekitar dua jam dalam
perjalanan. Ketika terbangun aku merasa sangat kesal. Pasti banyak
daerah-daerah dan kejadian-kejadian yang indah sudah terlewat dan aku tak
sempat melihatnya. Uhh. yang sudah terjadi biarlah terjadi. Aku berharap
mudah-mudahan daerah yang akan dilewati selanjutnya adalah daerah yang tak
kalah menariknya.
Bus terus berjalan.
Melaju begitu kencang. Seolah-olah tak ada kendaraan lain di jalan itu. Jalan
yang ramai di penuhi oleh kendaraan umum dan kendaran pribadi. Berjalan
melewati penggunungan yang tinggi dan ditumbuhi pepohonan nan hijau. Walaupun
jalan melewati pegunungan, tapi jalannya sama sekali tak berkelok atau
bertikungan. Karena jalannya menembus bawahan gunung. Makanya jalan tak
berkelok. Apalagi rusak. Tak ada sama sekali.
Ketika itu musim dingin. Tapi belum turun salju karena masih awal musim dingin. Hmm ingin rasanya menggenggam
butiran salju. Tak terlalu kupikirkan hal itu yang penting aku bisa menapakkan
kaki di negara ini sudah lebih dari cukup. Dan akan ku ceritakan semua kegiatanku disini sama
teman-temanku di aceh.
Gunung demi gunung
pun terlewati.
Tanpa sadar aku melihat butiran-butiran putih yang bertaburan di lereng penggunungan. Aku
membuka mata lebar-lebar. "Oh tenryata butiran-butiran putih itu salju!".
Langsung secara spontan kami serombongan dari aceh berteriak senang melihat
salju yang sebelumnya belum pernah kami lihat secara langsung. Apalagi
menyentuhnya. Rupanya mendengar teriakan kami. Salah satu pendamping meminta
kepada orang yang memandu kami untuk memberhentikan bus itu sejenak. Guna untuk
turun sebentar melihat salju yg ada disitu serta berfoto-foto.
Busnya pun berhenti.
Tanpa ada instruksi, kami langsung keluar dari bus tersebut. Aku langsung
menyebrang jalan yang diselimuti oleh sedikitnya butiran-butiran salju. Tanpa
ku sadari tanganku langsung menjulur dan menggenggamnya. Terasa begitu lembut.
Tapi aku tak sanggup mengenggamnya lama-lama karena tangannku yang sudah sangat
dingin dan merah dan tak ada rasa lagi ketika aku menggengganya. Aku sempat
mengabadikannya dengan berfoto-foto. Dan aku juga sempat menjilat sedikit
butiran-butiran putih itu. Rasanya sama seperti es yang ada dalam freezer
lemari es.
Kami pun dapat
instruksi untuk
segera kembali ke bus untuk melanjutkan
perjalanan ke Otsuchi.
Mungkin sekiatar 2 jam lagi sampai. Bus langsung melanjutkan kembali perjalanannya.
Aku melihat butiran salju menempel di sepanjang pegunungan itu. Aku sangat puas
bisa menggenggam salju itu walaupun hanya sebentar. Rupanya saljunya baru saja turun
di daerah pegunungan tersebut, maka dari itu saljunya belum tebal. Di pegunungan selanjutnya tak terlihat
butiran-butiran itu lagi. Tak sabar ingin kuceritakannya kepada teman-temanku
tentang cerita ini pada mereka di tanah air. Aku teringat ketika aku sebelum
berangkat ke jepang. Teman-temanku sempat berpesan untuk tidak lupa membawa
oleh-oleh berupa salju.
Akhirnya kami tiba di
Otsuchi.
Jam menunjukkan jam 4 sore. Tapi suasananya sudah hampir gelap seperti suasana
magrib. Tiba-tiba salah satu orang jepang yang merupakan satu rombongan dengan
kami memberikan sebuah botol kecil kepadaku. Aku mengambilkannya dan segera
membuka tutupnya. Ternyata di dalamnya terdapat salju yang sudah sedikit mencair.
Dia berkata kepadaku. "Oleh-olehku untukmu, tolong dibawa pulang". Serentak semua orang tertawa
kegirangan sambil menatap lucu ke arah
mukaku yang sedang memegang botol kecil itu. "Bagaimana mau bawa pulang?
belum beberapa jam saja sudah mencair", pikirku sambil tertawa.
**Nyakti Mardalena**